Sabtu, 07 Mei 2011

Wejangan Terakhir Bhisma






Sebagai orang Jawa yang mencintai budaya, tentu tidak merasa asing dengan salah satu tokoh dalam dunia pewayangan ini, Bhisma, Resi junjungan wangsa Bharata. Namun di sini saya tidak ingin menuliskan mengenai siapa Bhisma ini, tetapi lebih kepada wejangan-wejangan terakhirnya kepada Yudhistira, raja Hastina kala itu. Wejangan ini diberikan saat ia tengah meregang nyawa menjelang kematiannya. Di dalam wejangan-wejangan ini, bila kita cermati secara lebih mendalam, ternyata cukup melingkupi dan mewakili keadaan yang terjadi saat ini. Dapat pula menjadi suatu kritik sosial bagi pemerintah kita saat ini, atau bahkan dapat menjadi perenungan bagi kita.Isi wejangannya antara lain adalah sebagai berikut:I. Sebagai penguasa, kau harus selalu ingat pada rakyatmu. Merekalah yang memegang peranan penting dalam mnentukan kehidupan suatu negeri. Maju mundurnya suatu negeri tidak dinilai dari kemegahan istana rajanya atau kemakmuran para penguasanya, tetapi dari kesejahteraan rakyatnya. Bijaksanalah dalam menghadapi rakyat, karena kekuatan rakyat laksana air danau yang tenang yang sewaku-waktu bisa meluap menghancurkan tanah-tanah subur di sekitarnya.II. Sebagai seorang pemimpin, kau harus senantiasa berada di garis depan, menyatu dengan rakyatmu dan memberikan teladan terbaik bagi mereka. Pemimpin harus ikut menderita bila rakyatnya menderita, tetapi tidak boleh tenggelam di dalam penderitaan. III. Sebagai raja dan penguasa, engkau harus senantiasa adil. Jangan pernah meremehkan kaum wanita. Ketahuilah, kaum wanita memiliki kekuatan dahsyat yang tersembunyi, yang kadang-kadang tidak mereka sadari. Ketahuilah... di balik kekuasaan, keperkasaan, dan keberhasilan seorang pria... selalu ada peran wanita yang mendampingi dan memberi dukungan kepadanya. Itu karena wanita memiliki kekuatan tersembunyi yang mereka peroleh berkat penderitaan dan ketidak adilan yang mereka alami.IV. Jangan pernah membeda-bendakan orang. Tegakkan keadilan tanpa memihak. Dengan begitu, engkau akan semakin dihormati dan disegani rakyatmu. Untuk semua tugas dan jabatan kerajaan, yang penting maupun yang kurang penting, pilihlah orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan sesuai dengan tangung jawab yang engkau berikan kepada mereka. Dengan begitu, pemerintahanmu berjalan baik.
Demikianlah wejangan-wejangan Bhisma kepada Yudhistira, yang pada akhirnya menjadi bekal baginya untuk memimpin kerajaan Hastina dengan baik. Alangkah indahnya bila negeri kita yang begitu indah ini juga dipimpin oleh orang-orang yang menjalankan wejangan-wejangan di atas. Mungkin negeri ini akan segera keluar dari keterperosokannya selama ini.

Minggu, 10 April 2011

Campur Sari



Kesenian Jawa memang beragam, mulai dari tarian, karya sastra, seni peran, hingga musik dan nyanyiannya. Keindahan kesenian asli Jawa inilah yang terus dipertahankan oleh masyarakat Jawa hingga saat ini. Namun bukan berarti pula bahwa kita menutup mata terhadap perkembangan jaman yang terjadi, dengan tetap mempertahankan budaya kita.
Misalnya saja musik Campursari. Bukan orang Jawa namanya kalau kita tidak mengenal Campursari. Nama Campursari pertama kali diperkenalkan pada tahun 60-an, atas kerjasama RRI dan URIL (Urusan Moril) atau TJABAD (Tjabang Adjudan Djendral) KODIM IV Diponegoro. Mereka sering membawakan lagu-lagu langgam dengan iringan musik-musik keroncong yang semi modern, percampuran inilah yang kemudian dikenal dengan nama "Campusari". Namun sayang, kemudian musik Campursari ini menghilang karena tak mampu bersaing dengan aliran musik yang lain kala itu. Baru pada awal tahun 90-an, seorang seniman musik pop asal Gunung Kidul, yang mempunyai pengetahuan tentang musik karawitan, mencoba memasukkan musik elektrik ke dalam lagu-lagu ciptaannya yang menggunakan bahasa Jawa. Orang itu adalah Manthous, yang sampai sekarang masih sangat dikenal sebagai penyanyi dan pencipta lagu-lagu Campursari.
Seiring dengan berkembangnya jaman, campursari semakin banyak menggunakan alat musik modern, seperti gitar, keyboard, dan bahkan drum. Tapi justru hal inilah yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi kawula muda untuk mengenal dan mencintai musik Jawa. Karena mereka tak lagi melihatnya sebagai musik yang kolot, tapi menjadi musik yang terus mengikuti perkembangan jaman tanpa meninggalkan keaslian budayanya.
Setelah melihat semuanya ini, masihkah kita tetap menganggap bahwa kebudayaan kita kolot dan tidak akan bisa berjalan beriringan dengan jaman yang modern ini?

Sabtu, 09 April 2011

Srikandi, atau dalam bahasa Sansekerta Sikhandi, adalah salah satu tokoh pewayangan Jawa yang sangat terkenal. Ia adalah putri dari kerajaan Panchala, ayahnya ialah Prabu Drupada, dan ibunya ialah Dewi Gandawati. Dalam cerita pewayangan, Srikandi adalah titisan dari Dewi Amba yang mati karena panah Bisma.
Tidak seperti putri-putri pada umumnya, Dewi Srikandi sangat menyukai olah keprajuritan. Keahliannya adalah dalam bidang panah-memanah. Mungkin sosok Srikandi inilah yang kemudian menjadi ide awal lahirnya gerakan emansipasi wanita.
Setelah menikah dengan Raden Arjuna dari keluarga Pandhawa, Dewi Srikandi diberi kewenangan sebagai penanggung jawab keslamatan dan keamanan kesatrian Madukara dan segenap isinya. Bahkan dalam perang Bharatayuda, ia tampil sebagai senapati perang dari pihak Pandhawa.
Diceritakan, sebelumnya Srikandi telah memohon kepada Dewa agar ia yang kemudian menjadi penyebab kematian Resi Bisma yang saat perang tersebut berada di pihak Kurawa. Permohonan Srikandi ini disebabkan oleh dendamnya kepada Resi Bisma yang telah menolak untuk menikahinya ketika ia masih menjadi Dewi Amba. Dan bahkan Dewi Amba ini mati di panah Bisma, dan kemudia menitis menjadi Dewi Srikandi.
Ketika perang Kurukshetra berlangsung, Srikandi berhadapan dengan Bisma. Ketika melihat Srikandi, Bisma langsung tahu bahwa ia adalah reinkarnasi dari Dewi Amba. Selain itu, Bisma juga mempunyai prinsip bahwa seorang kesatria sejati tak akan melawan seorang wanita. Untuk itu Bisma menjatuhkan senjatanya. Melihat kondisi seperti itu, Arjuna memanfaatkannya. Ia bersembunyi di balik tubuh Srikandi dan melepaskan panah penghancur ke arah tubuh Bisma, hingga akhirnya Bisma mati. Dengan bantuan Srikandilah akhirnya Resi Bisma dapat dikalahkan, padahal sebelumnya ia merupakan kesatria yang tak terkalahkan.
Srikandi sendiri pada akhirnya tewas dibunuh oleh Aswatama yang menyusup ke dalam kerajaan Astina pada hari ke-18 pasca perang Bharatayuda.
Demikianlah kisah Srikandi yang hidup dengan membawa dendam sampai akhir hayatnya. Kiranya kita, perempuan Indonesia juga dapat berkaca dari kisah hidup Srikandi. Kita dapat menjadi Srikandi-srikandi masa kini yang berjuang membela bangsa kita, namun bukan dengan dendam, tapi kasih..
Tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang sempurna. Demikian pula dengan Srikandi. Kita dapat mengambil apa yang sepantasnya kita ambil sebagai panutan, dan menjauhi hal-hal yang tidak boleh kita hampiri.
Semangat Srikandi-srikandi modern negeri ini.......!!!

Jumat, 08 April 2011

Tari Gambyong





Tari Gambyong adalah tarian yang biasanya dipakai ungtuk mengawali resepsi pernikahan adat Jawa. Konon, tari Gambyong tercipta karena seorang penari jalanan yang bernama si Gambyong pada masa Susuhunan Paku Buwana IV di Surakarta (1788-1820). Si Gambyong ini adalah maestro tari pada masa itu, yang memiliki paras yang sedemikian cantik sehingga begitu terkenal di seantero Surakarta. Karena itu, kemudian tarian yang sering ia tarikan dikenal dengan Tari Gambyong.
Ada dua jenis tari Gambyong yang terkenal di masyarakat, yaitu Gambyong Pangkur dan Gambyong Parianom. Gambyong Pangkur lebih halus dan menonjolkan sisi sukacitanya. Biasanya ditampilkan di kraton. Pakaiannya pun lebih mewah daripada Gambyong Parianom.Untuk Gambyong Parianom, biasanya menggunakan kostum kemben yang sederhana.
Terlepas dari perbedaan-perbedaannya, Gambyong biasanya diawali dengan gendhing Pangkur. Gerakannya begitu indah, selaras dengan irama gendhing dan kendhang.
Penari Gambyong adalah gadis-gadis. Karena tarian ini menonjolkan sisi estetika dari kelemah-lembutan gerak seorang perempuan. Gerakan-gerakannya yang gemulai namun tertata apik, seolah menciptakan ruang pembatas gerak, namun tidak mengurangi seni estetika yang ditawarkan. Justru hal inilah yang menjadi filosofi dari gerakan tarian ini, wanita Jawa adalah sosok yang berjalan seturut dengan bingkai kebudayaannya. Mempunyai aturan atau unggah-ungguh dalam berperilakun, namun tetap memancarkan keindahannya.
Gerakan tarian ini lemah lembut, namun kuat. Maksudnya, gerakan tarian ini harus jelas meskipun ditarika dengan gemulai. Sehingga membutuhkan gerakan otot yang kuat untuk menarikannya. Seperti itulah sosok wanita Jawa, halus, lembut, penuh tata krama, namun kuat dalam pendiriannya.

Kethoprak


Orang Jawa tentunya tidak akan merasa asing dengan istilah "kethoprak" ini. Ya, salah satu seni pertunjukan drama yang berasal dari Jawa Tengah ini memang sangat akrab dengan kehidupan masyarakat, dari kalangan menengah ke atas, hingga kalangan menengah ke bawah.
Kethoprak pada awalnya merupakan pertunjukan dramatari yang sangat populer di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kisah yang diangkat biasanya merupakan kisah-kisah kerajaan di Jawa, lengkap dengan kehidupan kaum bangsawan hingga rakyatnya. Biasanya juga menggunakan dialog, entah dalam bentuk prosa maupun tembang. Kadang juga diwarnai dengan gerakan-gerakan tarian, meskipun tidak menonjol.
Di dalam cerita Kethoprak, biasanya disisipkan wejangan-wejanangan yang baik disela-sela hiburan yang ditawarkan. Sehingga wejangan-wejangan tersebut dapat dengan mudah tertanam di dalam benak orang yang menyaksikannya. Tak sedikit pula cerita Kethoprak yang isinya merupakan sindiran moral terhadap peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi serta masalah politik aktual.
Meskipun saat ini keberadaan Kethoprak sudah mulai dilupakan, namun masih ada orang-orang yang terus berupaya untuk mempertahankannya. Misalnya saja, Taman Budaya Balekambang, Solo. Setiap harinya, mulai pukul 20.00, di selenggarakan pertunjukan Kethoprak ini. Harga tiketnya pun tidak mahal, hanya sekitar Rp 3000,00/orang. Tujuannya adalah untuk melestarikan kesenian Kethoprak ini, meskipun tak jarang sedikit sekali orang yang datang untuk menyaksikannya. Namun para seniman Kethoprak ini tidak pernah berhenti, mereka terus saja mengadakan pertunjukan tersebut, bahkan meski tidak ada yang menonton.
Sebagai masyarakat Jawa, tentunya kita tidak ingin warisan kesenian kita hilang begitu saja. Generasi muda terutama, harus lebih lagi giat untuk melestarikan kebudayaan kita ini. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk mempertahankan tradisi, budaya dan kesenian kita?


Perempuan Jawa dan Canting

"Canting adalah alat untuk menulis batik, terbuat dari kayu, sederhana, apa adanya, jujur. Dan kalau mau dipakai, canting harus ditiup dulu.Seperti dia bernafas. Perempuan jawa itu ibarat canting, hidup dari nafas dukungan rumah tangga. Terkesan tanpa daya di hadapan laki-laki. Tapi di balik itu, ada kekuatan untuk menggerakkan roda rumah tangga. Dia melahirkan, dan merawat anak. Dia memproduksi batik dengan banyak karyawan. Berbisnis di pasar, bersinggungan dengan pembeli, pemborong, pengutang, penagih utang. Dan di rumah, dia kembali melayani suami, dan kembali merawat anak.................................................................Perempuan Jawa itu luar biasa, apa yang kita lihat lemah, justru ternyata menjadi sumber energi buat mereka. Tanpa ada keinginan untuk diperhatikan dan dianggap istimewa."

(Dialog film "Brownies")

Perempuan Vs Wanita

Mungkin ini agak melenceng dari judul blog saya, "Java's Lover"... tapi sebenarnya saya memposting ini karena saya melihat mengenai peranan perempuan dalam budaya jawa yang sering kali hanya menjadi "kanca wingking", semoga tulisan saya ini bermanfaat....

PERKEMBANGAN KATA

“ PEREMPUAN DAN WANITA “

PENDAHULUAN

Setiap kata dalam bahasa yang kita pergunakan, baik itu formal maupun informal, mempunyai tingkatan rasa dan pemahaman bagi orang yang mendengarkannya. Kesalahan kita memilih suatu kata untuk mengungkapkan sesuatu, dapat berakibat fatal terhadap maksud dan tujuan kita saat mengungkapkan kata tersebut. Tapi yang menjadi permasalahannya sekarang ini adalah banyaknya istilah yang berkembang yang kemudian menggeser kedudukan kata yang dahulu digunakan. Hal ini menimbulkan kerancuan tentang kata apa yang sebaiknya dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu.

Dalam hal ini, saya berusaha untuk mengulas tentang perkembangan kata “ perempuan” atau “ wanita”. Seperti yang kita ketahui selama ini, kata perempuan dan wanita sudah dipakai dalam bahasa Indonesia sejak lama, dan kedudukan keduanya disejajarkan sebagai sinonim. Tapi tetap saja ada perbedaan penggunaan dari kedua kata tersebut. Hal itu karena orang sering merasakan suatu rasa yang berbeda pada penggunaannya.

Ada sebagian orang yang lebih condong pada penggunaan kata wanita daripada perempuan, karena dianggap memiliki nilai rasa yang lebih tinggi. Tapi ada pula yang justru sebaliknya, menggunakan kata perempuan, dan hal ini juga karena alas an yang sama, yaitu nilai rasa yang lebih tinggi. Namun ada pula yang memilih untuk berdiri di garis tengah, karena menurut mereka, kedua istilah ini sama saja, keduanya memiliki nilai rasa yang tinggi. Lalu, sebaiknya apa yang dapat kita pergunakan? Perempuan atau wanita?

ISI

Kata “ perempuan” dan “wanita” memang mempunyai dua pengertian kata dasar yang berbada. Dan perbedaan inilah yang kemudian mengakibatkan munculnya perbedaan nilai rasa dalam penggunaannya. Walaupun kita tahu bahwa keduanya sering dipergunakan dalam istilah sehari-hari, tapi tetap saja hal ini menimbulakan perdebatan tersendiri akan penggunaanya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata wanita dan perempuan diletakkan sejajar dalam bentuk sinonim, yang artinya menunjuk pada gender atau jenis kelamin manusia. Selain kata perempuan dan wanita, sebenarnya masih ada kata betina yang juga menunjukkan kepada jenis kelamin, tapi kata ini dianggap terlalu kasar dan tidak layak ditujukan kepada manusia. Penggunaan kata betina biasanya ditujukan untuk menunjuk pada jenis kelamin binatang.

Ditinjau dari asal muasal katanya, perempuan berasal dari bahasa melayu dan bahasa jawa dengan kata dasar “ empu”. Empu dalam bahasa melayu memiliki arti tuan atau orang yang dihormati. Hal ini mungkin menunjuk pada peran perempuan dalam kesejajarannya dalam kedudukan dengan pria. Di sini, perempuan didudukkan dalam posisi sebagai orang yang pantas memiliki kehormatan dan sejajar kedudukannya dengan pria. Dalam bahasa jawa, empu memiliki arti sebagai orang yang ahli dalam pembuatan keris, sehingga perempuan dapat berarti seorang yang memiliki kemampuan untuk mengasah dan membentuk pribadi seseorang, seperti halnya keris tersebut. Hal ini mungkin menunjuk pada peran seorang wanita sebagai sosok ibu yang membentuk karakter dan kepribadian anak-anaknya.

Kata wanita sendiri juga memiliki dua asal bahasa, yaitu bahasa sansekerta dan bahasa jawa. Dalam bahasa sansekerta, wanita berasal dari kata vanita yang artinya harapan, pelaku atau pencinta. Mungkin kata tersebut tidak menunjuk langsung pada jenis kelamin, tapi justru menunjuk pada sifat dasar seorang wanita. Wanita dikenal memiliki sifat dasar pencinta, dan wanita juga dianggap sebagai orang yang selalu memberikan harapan bagi orang lain, terutama bagi kaum pria. Karena wanita adalah tokoh yang berada di balik keberhasilan seorang pria.

Sedangkan dalam bahasa jawa sendiri, awalnya kata wanita berasal dari istilah “ wani ditata” yang artinya adalah berani ditata atau diatur. Hal ini seolah menunjuk bahwa seorang wanita hanya boleh diatur oleh pria tanpa memiliki hak untuk mengambil keputusan, sesuai dengan adat kebudayaan jawa kuno yang selalu meletakkan derajat wanita di bawah derajat pria. Namun setelah jaman emansipasi wanita yang dipelopori oleh tokoh sjarah Indonesia, R.A. Kartini, muncul perubahan makna dari “ wani ditata” menjadi “wani nata” yang artinya berani mengatur. Hal ini untuk menekankan pada tuntutan wanita untuk disejajarkan haknya dengan pria, bukan hanya sebagai orang yang selalu menerima keputusan, tapi juga sebagai orang yang mengambil keputusan.

Dilihat dari arti katanya masing-masing, kata perempuan dan wanita sebenarnya sama-sama mempunyai arti kata yang positif, yang menunjukkan pada kedudukkannya yang sejajar dengan pria. Tapi segi sejarah Bangsa Indonesia ternyata sangat mempengaruhi penggunaan kedua kata ini. Hal inilah yang kemudian mengacaukan penggunaan kedua kata ini.

Pada jaman penjajahan Jepang di Indonesia, tentara jepang sering menggunakan kata perempuan untuk menunjuk pada perempuan Indonesia. Dan hal ini menunjuk pada hal negatif, yaitu perempuan sebagai budak pemuas nafsu tentara jepang. Sehingga untuk sekian lama, istilah perempuan tidak dipergunakan untuk menunjuk pada seorang yang terhormat. Orang yang terhormat, hanya boleh disebut dengan kata wanita.

Namun pada jaman orde baru, terjadi lagi perubahan penggunaan kata ini. Wanita mengalami penindasan dalam hal politik. Tapi kemudian setelah perjuangan panjang, mulai masuklah wanita dalam kancah politik Indonesia. Namun tidak digunakan istilah wanita lagi, melainkan perempuan, misalnya saja, Menteri Pemberdayaan Perempuan. Hal ini karena penggunaan kata wanita dianggap terlalu tinggi dan membuat pria seolah harus berada dibawah kendali wanita. Sejak saat itulah lebih sering digunakan kata perempuan daripada wanita dalam keadaan-keadaan resmi, seperti dalam Kartu Tnada Penduduk ( KTP).

Terlepas dari semua kontroversi yang ada mengenai penggunaan kata wanita dan perempuan ini, saya menilai bahwa sebenarnya kedua kata ini memiliki kedudukan yang sama. Yang menjadi masalah bukan pada arti kata-kata itu sendiri, tapi bagaiamana sikap seorang wanita atau perempuan menyikapi kodratnya sebagai makhluk Hawa, yang diciptakan berdampingan dengan pria sebagai penolong dan pendamping pria.


REFERENSI

Husein, F. Agus & Margiani, Lusi. (2009). Dinamika gerakan perempuan di Indonesia.Jakarta : Lembaga Studi dan Pengembangan Perlindungan Perempuan dan Anak.

Lampung post. (2008). Wanita dan perempuan. Retrevied from http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php

Saptari, Ratna. (1997). Perempuan, kerja, dan perubahan sosial: sebuah pengantar studiperempuan, Jilid 1. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.

Tan, G. Melly. (1991). Perempuan Indonesia : pemimpin masa depan ?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Ojo Dipleroki

Saya sangat menyukai lagu ini, karena menurut saya, kata-kata yang terkandung di dalamnya mengingatkan kita kembali pada kebudayaan kita. Salut pada Ki Narto Sabdo yang telah menciptakan sebuah tembang sederhana namun penuh makna ini. Semoga, kita sebagai kaum muda penerus bangsa, dapat menjadi tonggak pelestarian budaya lokal kita.
OJO DIPLEROKI
Ki Narto Sabdo

Mas, mas, mas ojo dipleroki
Mas, mas, mas ojo dipoyoki
Karepku njaluk di esemi

Tingkah lakumu kudu ngerti tata
ojo ditinggal kapribaden ketimuran

Mengko gek keri ing jaman

Mbok yo sing eling dhik

Eling bab opo mas?

Iku budaya

Pancene bener kandhamu

Kawruh Tembang Jawa

Tembang Jawa Macapat dapat digolongkan menjadi 11 tembang, yang menggambarkan jalannya kehidupan manusia sejak di dalam kandungan ibunda sampai meninggalnya menghadap Yang Maha Kuasa.
  1. Maskumambang : Bayi dalam kandungan
  2. Mijil : Lahir
  3. Kinanthi : Dituntun
  4. Sinom : Nom/ Remaja
  5. Asmaradana : Cinta kasih/ asmara
  6. Gambuh : Jumbuh/ sesuai
  7. Dandanggula : Bungah/bahagia
  8. Durma : Darma/memberi
  9. Pangkur : Mungkuri/menjauhi hawa nafsu
  10. Megatruh : Lepasnya roh/ mati
  11. Pocung : Layon/mayit/mayat
Maskumambang : Melambangkan embrio yang masih dalam kandungan ibunya, yang belum diketahui laki atau perempuan. Mas artinya belum diketahui laki/ perempuan, sedangkan kumambang artinya hidupnya masih di alam kandungan ibunya.
Mijil : artinya sudah lahir di dunia, jenis kelamin laki-laki atau perempuan
Kinanthi : berasal dari kata Kanthi atau menuntun, yang artinya dituntun supaya dapat berjalan di dalam dunia.
Sinom : Artinya pemuda/ remaja.di sini yang terpenting bagi remaja agar bisa menuntut ilmu yang setinggi-tingginya.
Asmaradana : artinya memiliki cinta kash kepada sesamanya, baik itu laki-laki maupun wanita, karena semua itu sudah merupakan kehendak/ kodrat Yang Maha Kuasa.
Gambuh : berasal dari kata nyambung/sesuai, yang artinya kalau sudah pas selanjutnya dijodohkan antara pria dan wanita yang sudah saling mencintai, dengan harapan dapat menjalin kehidupan yang langgeng.
Dandanggula : Menggambarkan seseorang yang berbahagia, apa yang dicita-citakan dapat terlaksana. Terlaksana mempunyai pasangan, mempunyai rumah, kehidupan yang kecukupan untuk keluarganya. Makanya, seseorang yang menemukan kebahagiaan dapat diibaratkan lagunya dandanggula.
Durma : berasal dari kata pemberi. seseorang yang merasa kecukupan hidupnya kemudian tergugah rasa kasihan kepada sanak saudara yang sedang menderita, makanya tergugah untuk membantu dan memberi pertolongan kepada siapa saja. semua itu diberikan pertolongan berdasarkan ajaran agama dan rasa sosialnya kepada sesama.
Pangkur : berasal dari kata meninggalkan yang artinya menghindari hawa nafsu dan angkara murka, semua yang dipikirkan senantiasa berkeinginan membantu kepada sesamanya.
Megatruh : berasal dari kata lepasnya roh atau mati, karean sudah saatnya dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.
Pocung : Kalau sudah menjadi bangkai, maka akan dibungkus dengan kain putih untuk dikebumikan.