Rabu, 11 Januari 2012

NEGERI AUTO PILOT


Hari ini, saya mengawali pagi saya seperti biasa dengan secangkir sereal hangat dan beberapa lembar roti tawar. Namun tidak seperti biasanya, pagi ini saya sudah berada di depan layar televisi, berharap mendapat informasi menarik untuk hari ini. Jari-jari saya memencet tombol angka 1 pada remote control. Dua orang pembawa berita tampak begitu menarik perhatian saya, bukan karena wajah mereka yang memang tampan dan cantik, tapi lebih pada tema pembicaraan yang mereka tawarkan, yaitu “Negeri Auto Pilot”.

“Negeri Auto Pilot” telah menarik perhatian saya untuk tetap menyaksikan acara perbincangan politik ini. Tema yang saya rasa agak aneh dan nyeleneh. Muncul berbagai pemikiran di dalam benak saya mengenai apa maksud dibalik kalimat “Negeri Auto Pilot” ini.

Istilah “Auto Pilot” mungkin akrab kita dengar berkaitan dalam bidang penerbangan. Auto pilot adalah suatu program yang digunakan dalam suatu penerbangan, yaitu saat control pesawat tidak berada di tangan pilot namun di tangan program computer pesawat itu sendiri. Pilot biasanya hanya memegang kendali saat pesawat baru take off dan landing atau juga saat keadaan-keadaan darurat yang membutuhkan maneuver. Namun saat kondisi dirasa aman terkendali dan tidak akan terjadi hal-hal yang membahayakan, maka pilot dapat menyerahkan pekerjaannya tersebut kepada mesin computer, yang kemudian disebut dengan “Auto Pilot”.

Tampaknya saat ini pilot negeri kita juga tengah menggunakan modus “Auto Pilot” ini dalam menerbangkan pesawat pemerintahan negeri ini. Saat awal penerbangan pesawat negeri ini, sang pilot terlihat begitu berupaya untuk menjalankan tugasnya. Beliau pontang-panting berjanji ini dan itu untuk menarik perhatian khalayak ramai demi menunjang pemerintahannya take off. Namun sekarang, saat sudah berada di tengah masa jabatan, beliau dengan mudah meggunakan modus “Auto Pilot” ini.

Lho, memangnya kondisi bangsa ini sudah aman terkendali sehingga dengan begitu santainya menggunakan modus “Auto Pilot” ini?

Inilah yang masih menjadi pertanyaan bagi sang pilot negeri ini. Apakah beliau tidak memperhatikan kondisi cuaca pemerintahan negeri ini yang penuh badai? Badai korupsi, badai kemiskinan, badai permainan hokum, badai pelanggaran HAM, dan masih banyak lagi badai-badai yang lainnya. Negeri ini belum aman terkendali, kita masih membutuhkan maneuver untuk menghindar dari badai ini, atau bahkan mungkin perlu penambahan kecepatan untuk membuat pesawat kita segera keluar dari kemelut badai yang sudah sekian lama mengombang-ambingkan kita.

Mungkin ini yang bisa saya katakan kepada bapak pilot yang terhormat. Saya sebagai konsumen atas jasa penerbangan beliau, saya sebagai penumpang yang menyerahkan hidup saya sepenuhnya pada ketrampilan beliau menerbangkan pesawat yang saya tumpangi ini, meminta dengan sepenuhnya kepada beliau untuk segera tersadar dan mengambil alih kemudi pesawat ini. Karena saat pesawat ini kandas, bukan hanya kami yang mati tapi seluruh kru pesawat, dan tak menutup kemungkinan juga bapak pilot. Mohon segera perbaiki kinerja, baik bapak pilot sendiri, ataupun seluruh kru pesawat. Bekerjasamalah dengan baik sebagai tim, dan bila nanti sudah tiba saatnya dimana keadaan pesawat kita sudah baik dan sudah keluar dari kemelut badai yang berkepanjangan ini, silahkan kembali menggunakan “Auto Pilot” itu lagi.

Sabtu, 07 Mei 2011

Wejangan Terakhir Bhisma






Sebagai orang Jawa yang mencintai budaya, tentu tidak merasa asing dengan salah satu tokoh dalam dunia pewayangan ini, Bhisma, Resi junjungan wangsa Bharata. Namun di sini saya tidak ingin menuliskan mengenai siapa Bhisma ini, tetapi lebih kepada wejangan-wejangan terakhirnya kepada Yudhistira, raja Hastina kala itu. Wejangan ini diberikan saat ia tengah meregang nyawa menjelang kematiannya. Di dalam wejangan-wejangan ini, bila kita cermati secara lebih mendalam, ternyata cukup melingkupi dan mewakili keadaan yang terjadi saat ini. Dapat pula menjadi suatu kritik sosial bagi pemerintah kita saat ini, atau bahkan dapat menjadi perenungan bagi kita.Isi wejangannya antara lain adalah sebagai berikut:I. Sebagai penguasa, kau harus selalu ingat pada rakyatmu. Merekalah yang memegang peranan penting dalam mnentukan kehidupan suatu negeri. Maju mundurnya suatu negeri tidak dinilai dari kemegahan istana rajanya atau kemakmuran para penguasanya, tetapi dari kesejahteraan rakyatnya. Bijaksanalah dalam menghadapi rakyat, karena kekuatan rakyat laksana air danau yang tenang yang sewaku-waktu bisa meluap menghancurkan tanah-tanah subur di sekitarnya.II. Sebagai seorang pemimpin, kau harus senantiasa berada di garis depan, menyatu dengan rakyatmu dan memberikan teladan terbaik bagi mereka. Pemimpin harus ikut menderita bila rakyatnya menderita, tetapi tidak boleh tenggelam di dalam penderitaan. III. Sebagai raja dan penguasa, engkau harus senantiasa adil. Jangan pernah meremehkan kaum wanita. Ketahuilah, kaum wanita memiliki kekuatan dahsyat yang tersembunyi, yang kadang-kadang tidak mereka sadari. Ketahuilah... di balik kekuasaan, keperkasaan, dan keberhasilan seorang pria... selalu ada peran wanita yang mendampingi dan memberi dukungan kepadanya. Itu karena wanita memiliki kekuatan tersembunyi yang mereka peroleh berkat penderitaan dan ketidak adilan yang mereka alami.IV. Jangan pernah membeda-bendakan orang. Tegakkan keadilan tanpa memihak. Dengan begitu, engkau akan semakin dihormati dan disegani rakyatmu. Untuk semua tugas dan jabatan kerajaan, yang penting maupun yang kurang penting, pilihlah orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan sesuai dengan tangung jawab yang engkau berikan kepada mereka. Dengan begitu, pemerintahanmu berjalan baik.
Demikianlah wejangan-wejangan Bhisma kepada Yudhistira, yang pada akhirnya menjadi bekal baginya untuk memimpin kerajaan Hastina dengan baik. Alangkah indahnya bila negeri kita yang begitu indah ini juga dipimpin oleh orang-orang yang menjalankan wejangan-wejangan di atas. Mungkin negeri ini akan segera keluar dari keterperosokannya selama ini.

Minggu, 10 April 2011

Campur Sari



Kesenian Jawa memang beragam, mulai dari tarian, karya sastra, seni peran, hingga musik dan nyanyiannya. Keindahan kesenian asli Jawa inilah yang terus dipertahankan oleh masyarakat Jawa hingga saat ini. Namun bukan berarti pula bahwa kita menutup mata terhadap perkembangan jaman yang terjadi, dengan tetap mempertahankan budaya kita.
Misalnya saja musik Campursari. Bukan orang Jawa namanya kalau kita tidak mengenal Campursari. Nama Campursari pertama kali diperkenalkan pada tahun 60-an, atas kerjasama RRI dan URIL (Urusan Moril) atau TJABAD (Tjabang Adjudan Djendral) KODIM IV Diponegoro. Mereka sering membawakan lagu-lagu langgam dengan iringan musik-musik keroncong yang semi modern, percampuran inilah yang kemudian dikenal dengan nama "Campusari". Namun sayang, kemudian musik Campursari ini menghilang karena tak mampu bersaing dengan aliran musik yang lain kala itu. Baru pada awal tahun 90-an, seorang seniman musik pop asal Gunung Kidul, yang mempunyai pengetahuan tentang musik karawitan, mencoba memasukkan musik elektrik ke dalam lagu-lagu ciptaannya yang menggunakan bahasa Jawa. Orang itu adalah Manthous, yang sampai sekarang masih sangat dikenal sebagai penyanyi dan pencipta lagu-lagu Campursari.
Seiring dengan berkembangnya jaman, campursari semakin banyak menggunakan alat musik modern, seperti gitar, keyboard, dan bahkan drum. Tapi justru hal inilah yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi kawula muda untuk mengenal dan mencintai musik Jawa. Karena mereka tak lagi melihatnya sebagai musik yang kolot, tapi menjadi musik yang terus mengikuti perkembangan jaman tanpa meninggalkan keaslian budayanya.
Setelah melihat semuanya ini, masihkah kita tetap menganggap bahwa kebudayaan kita kolot dan tidak akan bisa berjalan beriringan dengan jaman yang modern ini?

Sabtu, 09 April 2011

Srikandi, atau dalam bahasa Sansekerta Sikhandi, adalah salah satu tokoh pewayangan Jawa yang sangat terkenal. Ia adalah putri dari kerajaan Panchala, ayahnya ialah Prabu Drupada, dan ibunya ialah Dewi Gandawati. Dalam cerita pewayangan, Srikandi adalah titisan dari Dewi Amba yang mati karena panah Bisma.
Tidak seperti putri-putri pada umumnya, Dewi Srikandi sangat menyukai olah keprajuritan. Keahliannya adalah dalam bidang panah-memanah. Mungkin sosok Srikandi inilah yang kemudian menjadi ide awal lahirnya gerakan emansipasi wanita.
Setelah menikah dengan Raden Arjuna dari keluarga Pandhawa, Dewi Srikandi diberi kewenangan sebagai penanggung jawab keslamatan dan keamanan kesatrian Madukara dan segenap isinya. Bahkan dalam perang Bharatayuda, ia tampil sebagai senapati perang dari pihak Pandhawa.
Diceritakan, sebelumnya Srikandi telah memohon kepada Dewa agar ia yang kemudian menjadi penyebab kematian Resi Bisma yang saat perang tersebut berada di pihak Kurawa. Permohonan Srikandi ini disebabkan oleh dendamnya kepada Resi Bisma yang telah menolak untuk menikahinya ketika ia masih menjadi Dewi Amba. Dan bahkan Dewi Amba ini mati di panah Bisma, dan kemudia menitis menjadi Dewi Srikandi.
Ketika perang Kurukshetra berlangsung, Srikandi berhadapan dengan Bisma. Ketika melihat Srikandi, Bisma langsung tahu bahwa ia adalah reinkarnasi dari Dewi Amba. Selain itu, Bisma juga mempunyai prinsip bahwa seorang kesatria sejati tak akan melawan seorang wanita. Untuk itu Bisma menjatuhkan senjatanya. Melihat kondisi seperti itu, Arjuna memanfaatkannya. Ia bersembunyi di balik tubuh Srikandi dan melepaskan panah penghancur ke arah tubuh Bisma, hingga akhirnya Bisma mati. Dengan bantuan Srikandilah akhirnya Resi Bisma dapat dikalahkan, padahal sebelumnya ia merupakan kesatria yang tak terkalahkan.
Srikandi sendiri pada akhirnya tewas dibunuh oleh Aswatama yang menyusup ke dalam kerajaan Astina pada hari ke-18 pasca perang Bharatayuda.
Demikianlah kisah Srikandi yang hidup dengan membawa dendam sampai akhir hayatnya. Kiranya kita, perempuan Indonesia juga dapat berkaca dari kisah hidup Srikandi. Kita dapat menjadi Srikandi-srikandi masa kini yang berjuang membela bangsa kita, namun bukan dengan dendam, tapi kasih..
Tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang sempurna. Demikian pula dengan Srikandi. Kita dapat mengambil apa yang sepantasnya kita ambil sebagai panutan, dan menjauhi hal-hal yang tidak boleh kita hampiri.
Semangat Srikandi-srikandi modern negeri ini.......!!!

Jumat, 08 April 2011

Tari Gambyong





Tari Gambyong adalah tarian yang biasanya dipakai ungtuk mengawali resepsi pernikahan adat Jawa. Konon, tari Gambyong tercipta karena seorang penari jalanan yang bernama si Gambyong pada masa Susuhunan Paku Buwana IV di Surakarta (1788-1820). Si Gambyong ini adalah maestro tari pada masa itu, yang memiliki paras yang sedemikian cantik sehingga begitu terkenal di seantero Surakarta. Karena itu, kemudian tarian yang sering ia tarikan dikenal dengan Tari Gambyong.
Ada dua jenis tari Gambyong yang terkenal di masyarakat, yaitu Gambyong Pangkur dan Gambyong Parianom. Gambyong Pangkur lebih halus dan menonjolkan sisi sukacitanya. Biasanya ditampilkan di kraton. Pakaiannya pun lebih mewah daripada Gambyong Parianom.Untuk Gambyong Parianom, biasanya menggunakan kostum kemben yang sederhana.
Terlepas dari perbedaan-perbedaannya, Gambyong biasanya diawali dengan gendhing Pangkur. Gerakannya begitu indah, selaras dengan irama gendhing dan kendhang.
Penari Gambyong adalah gadis-gadis. Karena tarian ini menonjolkan sisi estetika dari kelemah-lembutan gerak seorang perempuan. Gerakan-gerakannya yang gemulai namun tertata apik, seolah menciptakan ruang pembatas gerak, namun tidak mengurangi seni estetika yang ditawarkan. Justru hal inilah yang menjadi filosofi dari gerakan tarian ini, wanita Jawa adalah sosok yang berjalan seturut dengan bingkai kebudayaannya. Mempunyai aturan atau unggah-ungguh dalam berperilakun, namun tetap memancarkan keindahannya.
Gerakan tarian ini lemah lembut, namun kuat. Maksudnya, gerakan tarian ini harus jelas meskipun ditarika dengan gemulai. Sehingga membutuhkan gerakan otot yang kuat untuk menarikannya. Seperti itulah sosok wanita Jawa, halus, lembut, penuh tata krama, namun kuat dalam pendiriannya.

Kethoprak


Orang Jawa tentunya tidak akan merasa asing dengan istilah "kethoprak" ini. Ya, salah satu seni pertunjukan drama yang berasal dari Jawa Tengah ini memang sangat akrab dengan kehidupan masyarakat, dari kalangan menengah ke atas, hingga kalangan menengah ke bawah.
Kethoprak pada awalnya merupakan pertunjukan dramatari yang sangat populer di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kisah yang diangkat biasanya merupakan kisah-kisah kerajaan di Jawa, lengkap dengan kehidupan kaum bangsawan hingga rakyatnya. Biasanya juga menggunakan dialog, entah dalam bentuk prosa maupun tembang. Kadang juga diwarnai dengan gerakan-gerakan tarian, meskipun tidak menonjol.
Di dalam cerita Kethoprak, biasanya disisipkan wejangan-wejanangan yang baik disela-sela hiburan yang ditawarkan. Sehingga wejangan-wejangan tersebut dapat dengan mudah tertanam di dalam benak orang yang menyaksikannya. Tak sedikit pula cerita Kethoprak yang isinya merupakan sindiran moral terhadap peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi serta masalah politik aktual.
Meskipun saat ini keberadaan Kethoprak sudah mulai dilupakan, namun masih ada orang-orang yang terus berupaya untuk mempertahankannya. Misalnya saja, Taman Budaya Balekambang, Solo. Setiap harinya, mulai pukul 20.00, di selenggarakan pertunjukan Kethoprak ini. Harga tiketnya pun tidak mahal, hanya sekitar Rp 3000,00/orang. Tujuannya adalah untuk melestarikan kesenian Kethoprak ini, meskipun tak jarang sedikit sekali orang yang datang untuk menyaksikannya. Namun para seniman Kethoprak ini tidak pernah berhenti, mereka terus saja mengadakan pertunjukan tersebut, bahkan meski tidak ada yang menonton.
Sebagai masyarakat Jawa, tentunya kita tidak ingin warisan kesenian kita hilang begitu saja. Generasi muda terutama, harus lebih lagi giat untuk melestarikan kebudayaan kita ini. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk mempertahankan tradisi, budaya dan kesenian kita?


Perempuan Jawa dan Canting

"Canting adalah alat untuk menulis batik, terbuat dari kayu, sederhana, apa adanya, jujur. Dan kalau mau dipakai, canting harus ditiup dulu.Seperti dia bernafas. Perempuan jawa itu ibarat canting, hidup dari nafas dukungan rumah tangga. Terkesan tanpa daya di hadapan laki-laki. Tapi di balik itu, ada kekuatan untuk menggerakkan roda rumah tangga. Dia melahirkan, dan merawat anak. Dia memproduksi batik dengan banyak karyawan. Berbisnis di pasar, bersinggungan dengan pembeli, pemborong, pengutang, penagih utang. Dan di rumah, dia kembali melayani suami, dan kembali merawat anak.................................................................Perempuan Jawa itu luar biasa, apa yang kita lihat lemah, justru ternyata menjadi sumber energi buat mereka. Tanpa ada keinginan untuk diperhatikan dan dianggap istimewa."

(Dialog film "Brownies")