Mungkin ini agak melenceng dari judul blog saya, "Java's Lover"... tapi sebenarnya saya memposting ini karena saya melihat mengenai peranan perempuan dalam budaya jawa yang sering kali hanya menjadi "kanca wingking", semoga tulisan saya ini bermanfaat....
PERKEMBANGAN KATA
“ PEREMPUAN DAN WANITA “
PENDAHULUAN
Setiap kata dalam bahasa yang kita pergunakan, baik itu formal maupun informal, mempunyai tingkatan rasa dan pemahaman bagi orang yang mendengarkannya. Kesalahan kita memilih suatu kata untuk mengungkapkan sesuatu, dapat berakibat fatal terhadap maksud dan tujuan kita saat mengungkapkan kata tersebut. Tapi yang menjadi permasalahannya sekarang ini adalah banyaknya istilah yang berkembang yang kemudian menggeser kedudukan kata yang dahulu digunakan. Hal ini menimbulkan kerancuan tentang kata apa yang sebaiknya dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu.
Dalam hal ini, saya berusaha untuk mengulas tentang perkembangan kata “ perempuan” atau “ wanita”. Seperti yang kita ketahui selama ini, kata perempuan dan wanita sudah dipakai dalam bahasa Indonesia sejak lama, dan kedudukan keduanya disejajarkan sebagai sinonim. Tapi tetap saja ada perbedaan penggunaan dari kedua kata tersebut. Hal itu karena orang sering merasakan suatu rasa yang berbeda pada penggunaannya.
Ada sebagian orang yang lebih condong pada penggunaan kata wanita daripada perempuan, karena dianggap memiliki nilai rasa yang lebih tinggi. Tapi ada pula yang justru sebaliknya, menggunakan kata perempuan, dan hal ini juga karena alas an yang sama, yaitu nilai rasa yang lebih tinggi. Namun ada pula yang memilih untuk berdiri di garis tengah, karena menurut mereka, kedua istilah ini sama saja, keduanya memiliki nilai rasa yang tinggi. Lalu, sebaiknya apa yang dapat kita pergunakan? Perempuan atau wanita?
ISI
Kata “ perempuan” dan “wanita” memang mempunyai dua pengertian kata dasar yang berbada. Dan perbedaan inilah yang kemudian mengakibatkan munculnya perbedaan nilai rasa dalam penggunaannya. Walaupun kita tahu bahwa keduanya sering dipergunakan dalam istilah sehari-hari, tapi tetap saja hal ini menimbulakan perdebatan tersendiri akan penggunaanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata wanita dan perempuan diletakkan sejajar dalam bentuk sinonim, yang artinya menunjuk pada gender atau jenis kelamin manusia. Selain kata perempuan dan wanita, sebenarnya masih ada kata betina yang juga menunjukkan kepada jenis kelamin, tapi kata ini dianggap terlalu kasar dan tidak layak ditujukan kepada manusia. Penggunaan kata betina biasanya ditujukan untuk menunjuk pada jenis kelamin binatang.
Ditinjau dari asal muasal katanya, perempuan berasal dari bahasa melayu dan bahasa jawa dengan kata dasar “ empu”. Empu dalam bahasa melayu memiliki arti tuan atau orang yang dihormati. Hal ini mungkin menunjuk pada peran perempuan dalam kesejajarannya dalam kedudukan dengan pria. Di sini, perempuan didudukkan dalam posisi sebagai orang yang pantas memiliki kehormatan dan sejajar kedudukannya dengan pria. Dalam bahasa jawa, empu memiliki arti sebagai orang yang ahli dalam pembuatan keris, sehingga perempuan dapat berarti seorang yang memiliki kemampuan untuk mengasah dan membentuk pribadi seseorang, seperti halnya keris tersebut. Hal ini mungkin menunjuk pada peran seorang wanita sebagai sosok ibu yang membentuk karakter dan kepribadian anak-anaknya.
Kata wanita sendiri juga memiliki dua asal bahasa, yaitu bahasa sansekerta dan bahasa jawa. Dalam bahasa sansekerta, wanita berasal dari kata vanita yang artinya harapan, pelaku atau pencinta. Mungkin kata tersebut tidak menunjuk langsung pada jenis kelamin, tapi justru menunjuk pada sifat dasar seorang wanita. Wanita dikenal memiliki sifat dasar pencinta, dan wanita juga dianggap sebagai orang yang selalu memberikan harapan bagi orang lain, terutama bagi kaum pria. Karena wanita adalah tokoh yang berada di balik keberhasilan seorang pria.
Sedangkan dalam bahasa jawa sendiri, awalnya kata wanita berasal dari istilah “ wani ditata” yang artinya adalah berani ditata atau diatur. Hal ini seolah menunjuk bahwa seorang wanita hanya boleh diatur oleh pria tanpa memiliki hak untuk mengambil keputusan, sesuai dengan adat kebudayaan jawa kuno yang selalu meletakkan derajat wanita di bawah derajat pria. Namun setelah jaman emansipasi wanita yang dipelopori oleh tokoh sjarah Indonesia, R.A. Kartini, muncul perubahan makna dari “ wani ditata” menjadi “wani nata” yang artinya berani mengatur. Hal ini untuk menekankan pada tuntutan wanita untuk disejajarkan haknya dengan pria, bukan hanya sebagai orang yang selalu menerima keputusan, tapi juga sebagai orang yang mengambil keputusan.
Dilihat dari arti katanya masing-masing, kata perempuan dan wanita sebenarnya sama-sama mempunyai arti kata yang positif, yang menunjukkan pada kedudukkannya yang sejajar dengan pria. Tapi segi sejarah Bangsa Indonesia ternyata sangat mempengaruhi penggunaan kedua kata ini. Hal inilah yang kemudian mengacaukan penggunaan kedua kata ini.
Pada jaman penjajahan Jepang di Indonesia, tentara jepang sering menggunakan kata perempuan untuk menunjuk pada perempuan Indonesia. Dan hal ini menunjuk pada hal negatif, yaitu perempuan sebagai budak pemuas nafsu tentara jepang. Sehingga untuk sekian lama, istilah perempuan tidak dipergunakan untuk menunjuk pada seorang yang terhormat. Orang yang terhormat, hanya boleh disebut dengan kata wanita.
Namun pada jaman orde baru, terjadi lagi perubahan penggunaan kata ini. Wanita mengalami penindasan dalam hal politik. Tapi kemudian setelah perjuangan panjang, mulai masuklah wanita dalam kancah politik Indonesia. Namun tidak digunakan istilah wanita lagi, melainkan perempuan, misalnya saja, Menteri Pemberdayaan Perempuan. Hal ini karena penggunaan kata wanita dianggap terlalu tinggi dan membuat pria seolah harus berada dibawah kendali wanita. Sejak saat itulah lebih sering digunakan kata perempuan daripada wanita dalam keadaan-keadaan resmi, seperti dalam Kartu Tnada Penduduk ( KTP).
Terlepas dari semua kontroversi yang ada mengenai penggunaan kata wanita dan perempuan ini, saya menilai bahwa sebenarnya kedua kata ini memiliki kedudukan yang sama. Yang menjadi masalah bukan pada arti kata-kata itu sendiri, tapi bagaiamana sikap seorang wanita atau perempuan menyikapi kodratnya sebagai makhluk Hawa, yang diciptakan berdampingan dengan pria sebagai penolong dan pendamping pria.
REFERENSI
Husein, F. Agus & Margiani, Lusi. (2009). Dinamika gerakan perempuan di Indonesia.Jakarta : Lembaga Studi dan Pengembangan Perlindungan Perempuan dan Anak.
Lampung post. (2008). Wanita dan perempuan. Retrevied from http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php
Saptari, Ratna. (1997). Perempuan, kerja, dan perubahan sosial: sebuah pengantar studiperempuan, Jilid 1. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Tan, G. Melly. (1991). Perempuan Indonesia : pemimpin masa depan ?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.